PANGKALPINANG – Penyuluh Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Fery menegaskan bahwa debt collector tidak boleh mengambil secara paksa kendaraan nasabah yang menunggak cicilan, hal itu mengingat sudah ada prosedur hukum yang mengaturnya.
Demikian ditegaskan Fery menindaklanjuti adanya debt collector yang diduga melakukan perampasan terhadap satu unit mobil milik Dedy Kurniansyah alias Edoy pada Sabtu (2/4) lalu.
Fery mengimbau, jika ada aksi debt collector yang tiba-tiba mengambil kendaraan dijalan dengan cara memaksa bahkan sampai menghina nasabah, dapat dituntut secara hukum.
“Nasabah harus paham, ketika datang debt collector untuk menarik kendaraan yang menunggak dengan memaksa atau dengan tindakan yang bernada ancaman dan mempermalukan nasabah yang bersifat fisik maupun verbal, maka debt collector bisa ditindak secara hukum,” tegas Fery seizin Kepala Bidang Humas Kanwil Kemenkumham Babel, Senin (04/04/2022).
Ia juga menjelaskan, para nasabah atau pemilik kendaraan yang menunggak cicilan jangan panik ketika datang debt collector saat ingin mengambil kendaraan. Yang pertama, nasabah wajib meminta debt collector untuk menunjukan sertifikat fidusia, surat kuasa penarikan, kartu sertifikasi profesi, dan kartu identitas, serta yang tak kalah penting, yakni surat putusan pengadilan.
“Aturan ini sudah ada dalam ketentuan POJK nomor 35/2018 pasal 18 ayat 3 (c) yang berbunyi perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa debt collector wajib menggunakan debt collector yang memiliki sertifikat profesi dan mengikuti peraturan dalam proses penagihan kepada nasabah,” jelasnya.
Selain itu, tambah fery, OJK juga memerintahkan hal yang sama dengan mewajibkan para debt collector menyertakan kartu indentitas, surat tugas, jaminan fidusia saat melakukan penagihan. Hal ini guna memperkuat aspek legalitasnya.
“Aturan ini sudah jelas, jika ada perusahaan pembiayaan (leasing) yang melanggar bisa beresiko sanksi peringatan, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha,” ujar Fery.
Selain itu, jelas Fery, dalam putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menerangkan bahwa wanprestasi tidak boleh ditetapkan sepihak oleh kreditur, sehingga objek jaminan tidak boleh langsung dieksekusi debt collector.
“Kedua belah pihak, baik kreditur ataupun debitur harus terlebih dahulu menyepakati. Namun, jika tidak ada kesepakatan, maka eksekusi harus melalui putusan pengadilan,” tukasnya. (Bmg)