JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya melarang pengurus partai politik menjadi Jaksa Agung. Hal ini berdasarkan putusan atas gugatan terhadap Undang-undang Kejaksaan.
Pasalnya, MK mengubah ketentuan dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021, dan menambahkan syarat tentang afiliasi terhadap partai politik.
“Menyatakan pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 … bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Untuk dapat diangkat menjadi jaksa agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik, kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung,’,” ujar ketua majelis hakim MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta seperti dilansir dari CNN Indonesia, pada Jumat (1/3/2024).
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat pengurus partai politik adalah orang yang memilih mendekatkan diri lebih dalam ke partai politik. Dengan demikian, MK mengubah aturan dengan maksud mencegah konflik kepentingan.
Anggota majelis hakim MK Saldi Isra menjelaskan syarat mundur dari partai lima tahun ditujukan untuk memutus ikatan batin terhadap partai politik. Aturan itu diharapkan mencegah mantan pengurus parpol tetap berafiliasi dengan partai politik setelah ditunjuk sebagai jaksa agung.
Sementara itu, MK tidak memberi batasan waktu bagi kader biasa di partai politik yang ditunjuk sebagai jaksa agung. Hal itu karena MK menilai kader biasa tidak punya keterikatan yang kuat kepada partai politik.
“Bagi calon jaksa agung yang belum diangkat menjadi jaksa agung merupakan kader partai politik, cukup melakukan pengunduran diri sejak dirinya diangkat menjadi jaksa agung,” tandas Saldi.
Ketetapan ini merupakan putusan atas perkara nomor 6/PUU-XXII/2024. Sedangkan permohonan perkara ini dari aktivis antikorupsi Jovi Andrea Bachtiar. (Amris)