PALU – Sikap tidak tegas Balai Wilayah Sungai Sulawesi III (BWSS), khususnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sungai dan Pantai I BWSS III, yang diduga terkesan membiarkan terjadinya penggantian Project Manager (PM) pada Paket Proyek River Improvement and Sediment Control in Gumbasa River, Pondo River, and Rogo River Area kepada oknum yang diduga tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi mengendalikan proyek itu, amat disayangkan banyak pihak.
Salah satu sumber di lingkungan BWSS III di Palu, Kamis (7/3/2024) kepada Berita Global Indonesia mengungkapkan, seseorang yang diberi kedudukan sebagai seorang Project Manager (PM) pada suatu proyek yang bernilai ratusan miliar rupiah, sejatinya tidak bisa dilakukan dengan cara “asal tunjuk”, tetapi ada sejumlah persyaratan dan jenjang yang sangat ketat yang harus dilewati, baru seseorang itu, bisa ditunjuk dan diangkat untuk menjadi seorang PM.
Menurut sumber, dalam suatu proyek, kedudukan seorang PM menjadi kunci keberhasilan dan kesuksesan dari suatu proyek, karena seorang PM memiliki tanggungjawab yang cukup besar dan berat dalam suatu proyek, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian sampai penutupan proyek, “kalau begitu urgennya kedudukan seorang PM, maka sudah barangtentu suatu penyedia jasa dalam mengerjakan proyek, tidak bisa seenaknya main comot dan main pasang” tegasnya.
Dalam perjalanan pekerjaan paket paket Proyek River Improvement and Sediment Control in Gumbasa River, Pondo River, and Rogo River Area yang antara lain direncanakan membangun tiga unit sabodam pada aliran Sungai Gumbasa yang dikerjakan PT. Waskita Jaya Purnama Kerja Sama Operasi (KSO) PT. Medal Jaya Mandiri, beberapa waktu lalu, manajemen perusahaan penyedia jasa yang berasal dari Bogor itu, diduga telah mengganti PM proyek itu dengan seorang yang diduga tidak memiliki kompetensi dan pengalaman untuk mengemban tugas sebagai PM. Celakanya, ungkap seorang sumber di lokasi proyek, oknum yang diduga tiba-tiba diangkat menjadi PM, sebelumnya hanyalah seorang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) berinisial CW.
Ahli K3 sendiri, lanjut sumber itu, tugas dan tanggungjawabnya hanyalah berkaitan dengan keselamatan dan Kesehatan kerja pada suatu proyek sebagai implementasi Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “jadi keahlian dari CW itu, tidak ada sangkut pautnya dengan manajemen pelaksanaan proyek, sebagai seorang K3, dia hanya bertanggungjawab atas keselamatan dan Kesehatan kerja bagi orang-orang yang terlibat langsung pada aktivitas proyek itu,” ujarnya.
Sementara untuk seorang PM pada proyek konstruksi pengairan, lanjutnya lagi, yang bersangkutan harus minimal berijazah Sarjana Strata Satu (S1) jurusan Teknik Sipil Pengairan, memiliki pengalaman kerja dibidang itu sekurang-kurangnya delapan tahun, dan memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKA) Utama Manajemen Proyek,” Apakah CW itu memenuhi syarat itu semua, saya kira tidak, sebab CW sendiri tiba-tiba lompat menjadi PM dari tenaga K3,” ungkapnya.
Untuk menghindari terjadinya penyelewengan penggunaan anggaran proyek senilai IDR 164 Miliar lebih itu, sumber itu mengimbau Kepala BWSS III, agar memerintahkan Harry Mantong, S.T., M.T., selaku PPK Sungai dan Pantai I BWSS, yang membawahi proyek Sabodam itu, untuk tidak mencairkan dana-dana termijn yang diusulkan pihak penyedia jasa, karena PM yang saat ini mengendalikan proyek yang didanai loan Japan International Cooperation Agency (JICA) itu, sesungguhnya tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagaimana mestinya.
Terkait penggantian PM pada proyek tersebut di atas, PPK Sungai dan Pantai I BWSS III, Harry Mantong, ketika dimintai konfirmasi tentang hal itu melalui sambungan telepon, menganggap hal itu wajar saja, jika terjadi penggantian PM dalam suatu pelaksanaan proyek. Namun, ketika ditanya tentang kompetensi yang dimiliki PM saat ini yang diduga baru saja mengantongi sertikat SKA yang diduga dikeluarkan suatu lembaga sertifikasi konstruksi di Kota Palu dan diduga tanpa disertai pengalaman kerja minimal delapan tahun, Harry pun tidak bisa menanggapinya.
Demikian pula dengan ED, Direktur PT. Waskita Jaya Purnama saat dimintai konfirmasi melalui sambungan telepon, tekait penggantian PM proyek itu, juga menganggap hal itu wajar-wajar saja, “kalau itu tidak ada masalah, CW juga punya pengalaman di proyek,” ujarnya.
Progres pelaksanaan paket proyek itu, hingga awal Maret ini, masih berada pada posisi deviasi minus sebesar 15 persen dari target yang dicanangkan sebesar 40 persen dalam limit waktu pekerjaan lima setengah bulan. Sejumlah pihak di Palu mengkhawatirkan kelanjutan proyek itu, karena jika realisasi bobot pekerjaan hanya bergantung pada hasil kerja pihak ketiga yang menjadi sub kontraktor dalam perjanjian kerja di bawah tangan itu, maka diduga risiko pemutusan kontrak bisa terjadi. Hal ini, menurut sumber Berita Global Indonesia, setidaknya harus menjadi atensi serius dari Dedi Yudha Lesmana, S.T., M.T., selaku Kepala BWSS III. (Jamal/Rid)