PALU – Meski sejak 10 Januari 2024 ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi, proyek Teknologi Tepat Guna (TTG) Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, D.B. Lubis, S.H., saat ini masih dapat berleha-leha dan tetap bisa menikmati kebebasan bergeraknya, karena pejabat Asisten III Kabupaten Donggala tersebut, tidak dilakukan penahanan terhadap dirinya. Bahkan, kabar tentang kelanjutan proses penanganan perkaranya, diduga “jalan di tempat” dan tidak jelas progresnya.
Keadaan yang melingkupi penanganan perkara yang diduga merugikan keuangan negara sebanyak IDR 1,8 miliar tersebut, mendapat tanggapan dari seorang akademisi sekaligus praktisi hukum di Palu, Dr. Johnny Salam, S.H., M.H.
Kepada Berita Global Indonesia, Jumat (26/7/2024), melalui sambungan telepon, Johnny amat menyayangkan sikap penyidik Direktorat Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang terkesan melakukan diskriminasi dalam proses penegakan hukum, di mana dalam perkara yang sama, sikap penyidik diduga menerapkan “standar ganda”, karena ada dua tersangka lainnya dalam perkara ini, setelah menyandang status tersangka, tidak berselang beberapa lama langsung dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Sementara DB. Lubis, meski sudah lebih dari lima bulan menyandang status tersangka berdasarkan Surat Nomor. B/81/I/RES.3.3./2024/Ditreskrimsus, namun perlakuan penyidik atas dirinya terbilang sungguh sangat Istimewa, karena yang bersangkutan masih bisa leluasa ke sana kemari, seperti orang yang tidak menyandang status tersangka.
“Sayang sekali, sikap penyidik seperti itu, tentu dengan begitu dapat mencederai rasa keadilan masyarakat, sebab dalam perkara-perkara korupsi yang tergolong sebagai extra ordinary crime, setelah pelakunya menyandang status tersangka, maka sudah dapat dipastikan, penyidik akan segera melakukan penahanan, tetapi koq bisa, ada orang yang berstatus tersangka masih saja bebas berkeliaran,” ujar Johnny.
Sebagai warga negara yang amat mencintai kerja-kerja kepolisian, Johnny Salam yang pernah menjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako, mengingatkan petinggi kepolisian daerah ini, khususnya Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, agar mengingatkan oknum bawahan yang menangani perkara itu untuk tidak mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang dapat mengundang dan memancing kecurigaan masyarakat terhadap institusi kepolisian daearah ini.
Menurut alumni Program Doktor Hukum Universitas Hasanuddin itu, sikap subjektif penyidik dalam melakukan penahanan terhadap seorang tersangka, selain karena pertimbangan pelaku dikhawatirkan melarikan diri, juga ditakutkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti, dan akan mengulangi perbuatan. Bagi seorang tersangka proyek TTG yang tidak ditahan itu, kekhawatiran untuk melarikan diri dan mengulangi perbuatan, menurut Johnny, kemungkinan kecil hal itu terjadi, tetapi yang berkait dengan perusakan dan penghilangan barang bukti, hal itu diduga bisa saja dilakukan oleh yang bersangkutan, karena saat ini masih menjalankan tugas sebagai seorang pejabat di Kabupaten Donggala.
“Mestinya hal yang kedua itulah yang harus menjadi pertimbangan utama bagi penyidik untuk segera melakukan penahanan kepada yang bersangkutan, disamping kecurigaan yang berkait dengan dugaan terjadinya “standar ganda” dalam penanganan perkara korupsi itu,” tegasnya.
Selanjutnya menurut Johnny, saat ini publik tidak bisa lagi disuguhi hal-hal yang cenderung mengundang tanda tanya atas sikap dan kebijakan penegak hukum dalam menangani suatu perkara, karena selain makin banyak orang yang mengerti dan memahami tentang mekanisme, seluk beluk tahapan dan proses pelaksanaan penegakan hukum, saat ini juga merupakan era keterbukaan informasi publik, sehingga masyarakat tidak lagi kesulitan untuk mengakses informasi, termasuk informasi yang berkait dengan suatu proses penegakan hukum yang diduga dan terkesan dilakukan secara diskriminatif.
Senada dengan Johnny Salam, Ketua Komisi Pengawasan Korupsi Tipikor (KPKT) Kabupaten Donggala, Heri Soumena, sebagaimana dilansir Metro Sulawesi, Jumat (26/7/2024), juga menyayangkan sikap penyidik yang tidak melakukan penahanan kepada DB Lubis. Heri pun meminta Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah untuk segera menahan DB. Lubis sebagai tersangka proyek TTG Kabupaten Donggala.
Menurut Heri Soumena, penyidik yang menangani perkara ini terkesan tidak memiliki keberanian untuk melakukan penahanan terhadap mantan Kepala Bagian Hukum Kabupaten Donggala itu, karena meski yang bersangkutan sejak Januari 2024 sudah menyandang status tersangka dalam perkara proyek TTG Donggala, namun hingga saat ini tetap saja bebas berkeliaran ke sana kemari.
“Dengan ini, kami mendesak Polda Sulteng kedepankan langkah hukum berkeadilan. Ini sudah enam bulan ditetapkan sebagai tersangka, namun belum juga ditahan. Polda harus seriusi perkara ini dan pelakunya segera tahan, sesuai pesan Kapolri tidak ada yang kebal hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Komisaris Besar Polisi, Djoko Wienartono, ketika menjawab konfirmasi wartawan melalui pesan WhatsApp, Jumat (26/7/2024) di Palu menyatakan, ditahan atau pun tidak ditahannya seorang tersangka merupakan kewenangan penyidik yang didasarkan atas pertimbangan syarat subjektif dan objektif, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP.
Dengan begitu menurut Djoko, syarat penahanan hanya didasarkan pada ketentuan undang-undang, baik yang bersifat subjektif maupun objektif, dan sama sekali bukan karena sebab “berani” ataupun “tidak berani”, tegasnya.
Pada bagian lain, Djoko juga mengungkapkan, jika perkara TTG Donggala yang terdiri atas dua berkas dan diduga melibatkan oknum pejabat Asisten III Kabupaten Donggala, DB. Lubis, sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, terhitung sejak tanggal 17 Juli 2024 dan saat ini, lanjut Djoko, penyidik subdit Tipikor Ditkrimsus Polda Sulteng sedang berkoordinasi dengan jaksa peneliti untuk pelaksanaan Tahap Ke-2 yang ditandai penyerahan tersangka dan barang bukti. (Jamal)