JAKARTA – Kasus penangkapan Ronald Tannur dan Zarof Ricar yang menggemparkan masyarakat, ditambah dengan penangkapan oknum panitera pengganti di Pengadilan Tinggi (PT) Banten, memicu spekulasi mengenai praktik mafia peradilan.
Syamsul Bahri, Ketua Pokja Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung Republik Indonesia (FORSIMEMA-RI), mengungkapkan kekecewaannya terhadap oknum pejabat pengadilan dan Mahkamah Agung (MA) yang mencederai citra lembaga peradilan.
Dalam perbincangan melalui telepon dengan H. Suharto, SH, MHum, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, Syamsul Bahri menegaskan bahwa semakin maraknya dugaan praktik mafia peradilan sering kali menghasilkan konotasi keliru. Menurut Suharto, anggapan bahwa ada organisasi terstruktur di balik praktik-praktik ilegal ini tidak sepenuhnya akurat.
“Praktik jual beli perkara memang bisa terjadi, tetapi kebanyakan terjadi di luar lingkungan MA dan di luar jam kerja kami,” ungkap Suharto, pada Minggu (3/11/2024).
Ia menambahkan bahwa banyak oknum memanfaatkan situasi dengan mengatasnamakan pegawai MA untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Suharto menegaskan bahwa semua putusan peradilan dilakukan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku dan tidak ada praktik jual beli putusan. MA kini menerapkan sistem “One Day Publish” untuk meningkatkan transparansi dan mencegah manipulasi informasi. Dengan sistem ini, hasil putusan akan diunggah pada hari yang sama, menutup celah bagi oknum yang ingin memanfaatkan informasi sebelum diumumkan resmi.
Ia juga mengingatkan masyarakat pencari keadilan untuk berhati-hati terhadap oknum yang menawarkan bantuan dengan janji-janji tidak realistis. “Probabilitas kemenangan dalam beberapa kasus bisa sangat rendah, meskipun ada oknum yang menjanjikan hasil tertentu,” tegasnya.
Suharto menghimbau masyarakat untuk memanfaatkan aplikasi MA yang dapat diunduh di PlayStore, guna memantau status perkara dan informasi terkait pengadilan.
Dengan langkah-langkah ini, MA berharap dapat menjaga integritas peradilan dan meningkatkan kepercayaan publik. (Amri)