AUSTRIA – Dalam pertemuan Commission on Narcotic Drugs (CND) ke-67 yang berlangsung di Vienna, Austria, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) menghadiri side event bertema “On The Road 2029: How to Accelerate Our Effort to Ensure Safe Access to Essential Controlled Medicines for All Patient in Need While Ensuring Rational Use and Preventing Diversion”, pada Kamis (14/3).
Pertemuan diinisiasi oleh Pemerintah Belgia dengan dukungan Australia, Colombia, El Salvador, Indonesia, Jepang, Switzerland, United States of America (USA), Uni Eropa, UNODC (United Nations On Drugs and Crime), WHO (World Health Organization), INCB (International Narcotics Control Board), UICC (The Union for International Cancer Control), dan IAHPC (International Association for Hospice and Palliative Care).
Deputi Perdana Menteri Belgia, Petra de Sutter, yang memimpin rapat dalam sesi ini menyerukan perlunya upaya akselerasi untuk memastikan akses controlled medicine yang aman bagi pasien yang membutuhkan pengobatan jenis obat-obatan terkontrol (mengandung narkotika), disamping memastikan penggunaan yang rasional serta pencegahan penyalahgunaannya.
Dalam kesempatan tersebut, Delegasi Indonesia yang diwakili oleh Direktur Pascarehabilitasi Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, dr. Farid Amansyah, Sp., PD., mempresentasikan hasil studi yang telah dilakukan dalam kaitan tersebut dengan judul “Ensuring Access to Controlled Medicine While Preventing Diversion and Non-Medical Use”.
dr. Farid menyampaikan pandangan Indonesia terhadap obat-obatan terkontrol, berbasis penelitian yang telah dilakukan, serta mengangkat isu yang berhubungan dengan rantai pasokan obat-obatan terkontrol tersebut dan tantangan yang dihadapi oleh institusi dan pemerintah dalam penggunaan obat-obatan terkontrol.
“BNN, Kementerian Kesehatan, dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) hingga kini masih mendiskusikan regulasi yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan tersebut pada perawatan paliatif di pusat-pusat kesehatan masyarakat. Pasalnya hingga kini belum adanya perlindungan legal untuk pekerja di pusat-pusat kesehatan tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, penegakkan hukum yang keras serta risiko penyalahgunaan obat-obatan terkontrol menyebabkan apoteker enggan menyiapkan obat-obatan terkontrol di pusat-pusat kesehatan masyarakat.
“Untuk menghadapi tantangan tersebut, Indonesia merekomendasikan pembentukan tim paliatif yang terdiri dari berbagai dokter, dokter spesialis, farmasi, dan tenaga kesehatan yang terproteksi secara legal. Tim paliatif tetap dapat memberikan obat-obatan terkontrol dengan pertimbangan medis pada penderita yang membutuhkan, bahkan di fasilitas kesehatan tingkat primer,” jelasnya.
Selain itu, untuk menjamin ketersediaan obat-obatan terkontrol di pusat-pusat kesehatan masyarakat diperlukan penguatan kemitraan antara otoritas kesehatan dengan penegak hukum serta penguatan pemanfaatan teknologi digital dalam mengembangkan sistem informasi dan database yang terintegrasi antara fasilitas kesehatan.
Dengan berbagai upaya dan rekomendasi yang disampaikan oleh Delegasi Indonesia diharapkan dapat tercipta lingkungan yang kondusif bagi distribusi dan akses obat-obatan terkontrol sehingga tidak terjadi penyalahgunaan terhadap obat-obatan tersebut.
*BIRO HUMAS DAN PROTOKOL BNN RI*